GEMBIRA BERHARI RAYA
Seiring
terbitnya fajar Syawal, Ramadhan berlalu meninggalkan kita. Tak terasa begitu
cepat bergulir detik-detik indah itu. Padahal kita
belum maksimal melaksanakanshiyam, belum tuntas berulangkali
mengkhatamkan dan mentadabburi Al-Qur’an, belum optimal memanfaatkan sepertiga
malam, belum cukup banyak bersedekah, dan belum puas melaksanakan ibadah-ibadah
unggulan lainnya. Akankah tahun depan bertemu lagi dengan Ramadhan?
Sudah layakkah ibadah sebulan silam mengangkat diri menjadi lebih takwa dan
terbebas dari neraka? Dan kini, di hari raya ini, apakah kita benar-benar
berhak merayakan kegembiraan itu?
Memaknai
Idul Fitri
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ
مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ
أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Rasulullah
shalallahu alaihi wa salam datang ke Madinah sedangkan mereka (penduduk
Madinah) memiliki dua hari untuk bermain dan bergembira ria. Maka Rasulullah
bersabda, ‘Ada apakah dengan dua hari ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami biasa
bermain dan bergembira ria pada masa jahiliyah di dua hari tersebut.’
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan
dua hari kalian dengan dua hari yang lebih baik darinya, yaitu Idul Adha dan
Idul Fitri.’ (HR. Nasa’i)
Berdasarkan
hadis di atas, hari raya adalah hari kegembiraan bagi setiap yang beriman.
Jadi, meskipun sedih berpisah dengan Ramadhan, hari raya tetap harus disambut
gembira. Gembira karena berhasil melepaskan dosa-dosa selama Ramadhan. Gembira
karena menang melawan hawa nafsu dan bermujahadah dalam ketaatan dan ibadah.
Gembira karena hari ini Allah membolehkan berbuka, merahmati kita dan melipatgandakan
pahala puasa dan ibadah Ramadhan kita. Karenanya kegembiraan ini tidak pantas
disambut dengan gelora nafsu semata. Allah mengingatkan dalam surah An-Nashr, fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana tawwaba.
Kemenangan harus disambut dengan tasbih, tahmid dan
istighfar.
Perayaan Di Tanah Air Dan Mesir
Dalam literatur Islam klasik,
Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar sementara Idul Adhha adalah Idul Akbar.
Itulah kenapa masyarakat Mesir jauh lebih menyemarakkan Idul Adha ketimbang
Idul Fitri.
Sedangkan di Indonesia, Idul
Fitrilah hari raya besar. Para perantau mudik untuk berhari raya bersama
keluarga. Idul Fitri tak hanya dirayakan satu dua hari, tapi selama bulan
Syawal adalah lebaran. Beraneka kue dan minuman spesial dihidangkan, berbagai
masakan khas disajikan. Pakaian dan perlengkapan rumah serba baru. Masyarakat
saling berkunjung ke sanak saudara, handai taulan dan tetangga untuk
bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Anak-anak
gembira mendapat uang raya.
Beberapa instansi, organisasi dan komunitas mengadakan halal bihalal. Pejabat
negara hingga presiden tak ketinggalan mengadakan open house untuk masyarakat luas.
Bagi masyarakat Mesir, Idul Fitri
cukup dirayakan dengan kumpul keluarga dan rekreasi di tempat hiburan, taman
atau kebun binatang. Sebagian
penduduk Kairo juga mudik lebaran, membuat suasana pemukiman menjadi lengang,
rumah-rumah kosong dan jalanan yang nyaris hening. Ini menambah rasa sepi di
hati para mahasiswa Indonesia yang tengah dilamun kerinduan mendalam akan
kampung halaman.
Untungnya masisir masih punya
komunitas kekeluargaan dan persatuan mahasiswa yang menggelar berbagai open house. Ziarah dan saling
berkunjung ke rumah senior dan kawan-kawan juga tetap dibudayakan. Hingga Idul
Fitri di Mesir tetap penuh arti, sebagai ajang mempererat ukhuwah dan
silaturrahmi.
4 Kategori Kegembiraan
Menyambut Idul Fitri dengan penuh
kegembiraan adalah sebuah kemestian. Namun faktanya, kegembiraan yang dirayakan
berbagai lapisan masyarakat tidaklah sama substansinya. Sedikitnya kita bisa
bagi jadi 4 kategori:
Pertama, kegembiraan anak-anak menyambut
lebaran. Bagi mereka hari raya identik dengan baju baru, makanan lezat, dapat
“salam tempel” ketika berkunjung ke rumah keluarga dan sanak saudara, serta
bertamasya ke taman hiburan. Mereka hanya menginginkan sesuatu yang sifatnya
kebendaan dan belum paham makna filosofis dari Idul Fitri.
Kedua, kegembiraan yang dirasakan muslim awam/Islam
KTP. Meski jarang shalat dan puasa atau bahkan tidak sama sekali, mereka tetap
gembira menyambut Idul Fitri. Selain kegembiraan bersifat materi, mereka juga
menikmati nilai-nilai sosial di hari lebaran yaitu tradisi untuk mengunjungi
sanak saudara, kerabat dan kawan dekat.
Ketiga, kegembiraan yang dirasakan oleh
umat muslim yang menjalankan perintah syariat di bulan Ramadhan. Meraka puasa,
sholat tarawih, shadaqoh, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, dan memperbanyak
ibadah-ibadah sunnah. Tetapi semua itu masih dirasakan sebagai beban bahkan
seolah terbelenggu olehnya. Padahal hanya setan saja yang dibelenggu selama
Ramadhan. Bagi muslim
seperti ini, selain gembira dengan perayaan bersifat materi dan tradisi
silaturrahmi, mereka juga memaknai Idul Fitri sebagai momen terlepas dari
kekangan Ramadhan. Dan ketika takbir hari raya berkumandang mereka merasa bebas
dan secara tidak sadar melampiaskannya secara berlebihan. Pasca Ramadhan
bukannya membaik, malah kembali pada kondisi awal. Semua ketaatan dan beragam
ibadah mulai menyusut hingga tak tampak lagi. Sungguh ironi.
Keempat, kegembiraan yang dirasakan umat
muslim yang menjalankan ibadah Ramadhan dengan penuh keimanan. Ramadhan
dimaknai sebagai momentum peningkatan kualitas diri, hingga dimanfaatkan dengan
keikhlasan dan semangat tinggi. Ramadhan dirasakan sebagai kesempatan langka
yang belum tentu terulang lagi sehingga digunakan sungguh-sungguh demi
menggapai ampunan dan ridha Allah. Lalu ketika takbir hari raya menggema,
kegembiraan tertinggi mereka berasal dari rasa syukur yang tak terhingga.
Syukur atas kesempatan yang diberikan Allah untuk merengkuh pahala sebesar-besarnya
di bulan penuh berkah. Syukur karena diberi peluang menempa diri dan
meningkatkan kualitas iman di bulan penuh ampunan. Sehingga ketaatan dan
kedisiplinan ibadah selama Ramadhan menjadi bekal peningkatan untuk sebelas
bulan berikutnya.
7 Sikap Gembira Berhari Raya
Ada beberapa sikap yang hendaknya
terwujud dalam kegembiraan dan kebahagiaan di Hari Raya Idul Fitri, agar tidak
keluar dari koridor syariat, yaitu:
1. Tidak Berlebih-lebihan:
1. Dalam mengkonsumsi makanan
Karena
begitu beragamanya hidangan istimewa di hari raya, kita lupa dengan kapasitas
perut kita, sehingga terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Sementara Allah telah
mengingatkan dalam firman-Nya:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا
إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan
makan dan minumlah kalian, tapi janganlah kalian berlebih-lebihan. Karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al-A’raf 31)
2. Dalam berpakaian. Meski disunnahkan
memakai pakaian baru, tetapi jangan sampai bermewah-mewah apalagi melanggar
batasan syar’i. Allah berfirman:
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu.” (Al-Ahzab 33)
3. Dalam tertawa dan bercanda.
Tertawa,
bercanda, mendengarkan hiburan termasuk perkara yang dimubahkan terutama pada
Idul Fitri. Namun jangan sampai melupakan kewajiban atau menjerumuskan pada
sesuatu yang dilarang. Allah berfirman:
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاً وَلْيَبْكُوا
كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Maka
hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari
apa yang selalu mereka kerjakan.(Attaubah 82)
2. Mengevaluasi ibadah Ramadhan dan penuh
harap agar semuanya diterima Allah dan diampuni dosa-dosa yang berlalu.
Rasulullah bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian berdoa maka
janganlah dia mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Kamu mau’ tetapi
hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam memintanya dan memperbesar harapan,
sebab Allah tidak merasa berat terhadap apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Muslim).
3. Mempertahankan nilai kesucian yang
baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dan disiplin dalam ibadah, karena
predikat taqwa haruslah berkelanjutan hingga akhir hayat. Rasulullah bersabda:
”Bertaqwalah
engkau kepada Allah dimanapun dan kapanpun juga, ikutilah keburukan dengan
kebaikan niscaya menghapuskannya, dan bergaullah bersama manusia dengan
akhlak yang baik”. (HR Tirmidzi dan Ahmad).
4. Saling mendoakan semoga Allah menerima
seluruh amal ibadah kita. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
قَالَ وَاثِلَةٌ لَقَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ
مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Watsilah
bin Al-Asqo berkata, ‘Aku menemui Rasulullah pada hari Id lalu aku mengucapkan
‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah menjawab, ‘Ya,
Taqabbalallah Minna Wa Minka’ (HR. Baihaqi).
5. Jadikan Idul Fitri
sebagai salah satu momentum memaafkan orang lain, bersilaturrahim dan meminta
maaf kepada keluarga, sanak saudara, teman dan tetangga. Allah berfirman:
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Penghuni surga adalah)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran: 134)
Rasulullah
bersabda:
”Siapa
yang ingin dimudahkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya
menyambung tali kerabat.” (HR.
Muttafaqun ‘alaihi)
“Siapa
yang menengok orang sakit atau menziarahi saudaranya karena Allah Ta’ala, maka
datanglah penyeru yang menyerukan; engkau baik, dan langkahmu juga baik dan
engkau akan masuk surga sebagai tempat tinggal.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Semoga kegembiraan Idul Fitri ini
betul-betul bergema dalam jiwa kita. Bukan hanya kegembiraan semu bersifat
kebendaan dan kesenangan duniawi semata. Dan semoga juga dipenuhi semangat
juang di 11 bulan mendatang, untuk terus melestarikan ketaatan Ramadhan,
senantiasa mengisi hari-hari dengan amal kebaikan. Karena sejatinya, hari raya
ini adalah hari pertama kita bertempur kembali melawan godaan setan. Wallahu A’lam.
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Bundo Kanduang KMM Mesir 2010.
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Bundo Kanduang KMM Mesir 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar