Himpunan Mahasiswa Prodi Bahasa Arab STAIN Takengon menggelar seminar bertajuk Menggapai Surga di bulan Muharram dalam rangka penyambutan mahasiswa baru tahun 2017/2018 sekaligus memanfaatkan libur tanggal merah Tahun Baru Hijriah 1439 H pada tanggal 21 September 2017 kemarin. Didapuk sebagai pembicara, saya menyampaikan materi setelah sambutan dari Ka. Prodi PBA. Mengambil tempat di ruang kelas gedung C kampus induk STAIN Takengon, acara yang dihadiri semua mahasiswa PBA dari semeseter 1 hingga semester 5 ini dimoderatori oleh mahsiswa semester 7 Fitri Ramadhani. Berikut ini ringkasan materi yang saya sampaikan, diolah dari berbagai sumber:
Menggapai Surga dengan Amalan di bulan Muharram
Kedatangan bulan Muharram ini, dapat kita
jadikan sebagai salah satu momentum, untuk kembali bertafakur dan bermuhasabah, mengevaluasi
hari-hari yang telah berlalu dan merancang target-target baru untuk hari
mendatang. karena, semakin lama kita
menghabiskan umur kita di dunia, berarti semakin dekat dengan kehidupan yang
sesungguhnya, yaitu akhirat nan abadi. Sebagaimana firman Allah swt: Dan tidaklah kehidupan
dunia ini melainkan hanyalah senda gurau dan permainan belaka; dan sesungguhnya
negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya; kalaulah mereka
mengetahui. (QS.
Al-Ankabut: 64).
Mari kita renungkan ungkapan Rasulullah saw suri teladan kita,
ketika suatu hari beliau bangun dari
tempat pembaringannya, dan Abdullah bin Mas’ud melihat bekas jalur-jalur tikar di punggungnya. Ini kerana tikar alas tidur Rasulullah saw dibuat
dari daun kurma kasar. Timbullah rasa kasihan di hati Abdullah bin Mas’ud, lalu
ia berkata: “Ya
Rasulullah seandainya engkau perintah aku untuk mencari tikar yang lembut
untukmu, maka aku akan berusaha mendapatkannya”. Tetapi Rasulullah saw
bersabda: “Bagiku berada di dunia ini
ibarat seorang yang berjalan di tengah panas, lalu singgah sebentar berteduh di
bawah sepohon kayu yang rindang, setelah istirahat sejenak untuk menghilangkan
lelah, maka dia beranjak meninggalkan pohon rindang itu dan meneruskan
perjalanan”. (HR. Tirmizi)
Demikianlah Rasulullah mengumpamakan dunia ini, bahwa disini
kita hanya sekedar singgah sebentar, untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang
teramat sangat panjang di akhirat. Ibnu
Qayyim al-Jauziyah juga menggambarkan, bahwa lamanya perjalanan
hidup yang kita lalui ibarat es yang mencair. Sungguh sangat
singkat bila dibandingkan dengan keabadian yang akan kita hadapi sesudahnya.
Maka sangatlah merugi apabila perjalanan hidup yang singkat ini justru berlalu
dengan kesia-siaan belaka. Tanpa harga, tanpa makna, tanpa cita-cita. Hingga
tiada bekal memadai untuk mengarungi kehidupan hakiki di akhirat nanti.
Lalu bekal apa yang mesti kita persiapkan di dunia untuk menuju
kehidupan abadi tersebut? Allah telah mengingatkan kita semua dalam firman-Nya:
Artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang
berakal” (QS.
Al-Baqarah: 197) Dan Allah Swt berfirman dalam surat Al-Hasyr: Artinya: “Hai
orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS.
Al-Hasyr: 18)
Bekal yang harus kita persiapkan tiada lain dan tiada bukan
hanyalah takwa, karena takwa adalah sebaik-baik bekal dan persiapan. Sungguh
naïf jika seorang tidak menyiapkan bekal apa-apa padahal dia sadar betapa
panjang dan penuh rintangannya perjalanan yang akan dia hadapi di akhirat
nanti. Sebagaimana firman Allah swt:”Dan
tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)
Bulan
Muharram Termasuk Bulan Haram
Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan
langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di
orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan
matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari
dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas
bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan
perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ
ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan
langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada
empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak
antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
Di
Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut
diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut
larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang
lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah
baik untuk melakukan amalan ketaatan.
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan
ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan
haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang
berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai
bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut
dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala
yang lebih banyak.”
Pertama: Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah al-Muharram.[ HR.Muslim: 1982]
Hadits ini sangat jelas sekali bahwa puasa sunnah yang paling afdhol
setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Maksud puasa disini adalah
puasa secara mutlak. kan tetapi perlu
diingat tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh
kecuali pada Ramadhan saja.
Nabi dalam
berpuasa ‘Asyura mengalami empat fase[3];
Fase pertama: Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa
jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau
hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga
untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi
yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”.[4]
Fase kedua: Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa
‘Asyura, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana
keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan
sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka
untuk puasa ‘Asyura.
Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi
memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang,
dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah[5] sebagaimana hadits Aisyah yang
telah lalu.
Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari
A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan
puasanya orang Yahudi.
Kedua: Memperbanyak amalan shalih
Sebagaimana perbuatan dosa pada bulan ini akan dibalas dengan dosa yang
besar maka begitu pula perbuatan baik. Bagi yang beramal shalih pada bulan ini
ia akan menuai pahala yang besar sebagai kasih sayang dan kemurahan Allah
kepada para hambanya.
Ini adalah keutamaan yang besar, kebaikan yang banyak, tidak bisa
dikiaskan. Sesungguhnya Allah adalah pemberi nikmat, pemberi keutamaan sesuai
kehendaknya dan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat
menentang hukumnya dan tidak ada yang yang dapat menolak keutamaanNya.
Ketiga: Tidak melakukan amal yang tidak disyariatkan
1. Do’a
awal dan akhir tahun: TAHUN
HIJRIYAH BARU MULAI ZAMAN UMAR BIN KHATTAB, 4 tahun lebih setelah Rasulullah
wafat
Abu Musa Al-Asy-‘Ari radhiyahullahu’anhu; sebagai gubernur Basrah kala itu,
mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui suratnya: “Telah
sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa
yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu
surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini
ataukah tahun kemarin.” Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab
mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.
2. Amalan
kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah
dan awal tahun Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir
tahun. Dalil yang digunakan :
“Barang siapa yang berpuasa sehari
pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom,
maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka
tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan
kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.” PALSU
3. Perayaan hari Asyura
a. bagi berkah, sesajen atau
b. ritual mengiringi kepala Husen yang terbunuh di Karbala.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu
‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para
sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli
ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan yang ada
janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan tidak sabar
dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian,
tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun
mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka)
sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari Jum’at ketika akan
pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H
c. Menyiksa diri seperti orang Syiah
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ
الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah),
merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim
no. 103)
BERDUKA dalam Islam: ucap istirja’
Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan
kalimat istirjâ’:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ
مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ
اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘innâ lillâh wa
innâ ilaihi raji’ûn’, (dan berdoa) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang
menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan
Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan
sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami” [HR. Muslim 2/632 no (918]